Polda NTB dan FGD Jagung
Polda NTB mengadakan focus group discussion (FGD) Jagung dan ini baru pertama. Saya diundang Kepolisan jadi narasumber focus group discussion, FGD. Nampaknya, Polda NTB jauh-jauh hari ingin antisipasi stabilitas keamanan menjelang pillada.
Masalah berpeluang berulang adalah harga jagung, rendahnya harga jagung. Petani rugi. Sebabkan demonstrasi. Tidak tutup kemungkinan anarkis.
Polda NTB undang banyak pihak. Termasuk aktivis dan mahasiswa. Juga sebagian petani jagung. Pembicara dari Polda, pemda, bulog dan kampus.
Struktur pasar bisnis jagung dalam teori disebut persaingan tidak sempurna, tepatnya oligopsoni. Cirinya: 1). banyak penjual (petani), sedikit pembeli. 2). Pembeli adalah industri, 3). Penjual tidak kuasa tetapkan harga. Harga tidak ditentukan keseimbangan (mekanisme) pasar.
Kita paham, Mazhab industri adalah efisiensi. Apapun alasannya, mereka harus tekan biaya semepet-mepetnya. Kasus jagung, mereka jadi konsumen, bisa dibayangkan perilakunya.
Jagung merupakan produk antara. Artinya digunakan kembali untuk salah satunya bahan baku pakan. Khususnya pakan ternak. Tingginya harga jagung sebabkan tinggi harga telur dan daging. Sebabkan inflasi. Di sini pemerintah benar-benar pastikan keseimbangan. Berdiri di dua kaki.
Bila inflasi terjadi, termasuk petani jagung ikut kena dampak yang namanya money ilusion. Uang banyak. Namun tidak bernilai.
Sumber harga jagung itu di pusat pasar. Umumnya di Surabaya. Di sanalah pusat pengolahan pakan. Menjadi dilema bila di jawa panen raya, sumbawa-pun begitu. Plus harganya sama. Secara logika pasar, daya serap yang dijawa tentu lebih besar peluang diambil industri. Ambil Jagung sumbawa harus hitung biaya transportasi dan biaya transaksi sampai Surabaya.
Sikapi rendahnya harga jagung. Pemerintah tetapkan keputusan fleksibelitas harga. HAP (Harga Acuan Pembelian dan Penjualan) serta HPP (Harga Pembelian Pemerintah) dinaikan. Harganya di Rp. 5000 lebih sedikit.
Sungguh-pun begitu. Agak “berat” bagi industri ikuti. Belum ada logika sekaligus teori bisnis ada pembeli dipaksa beli produk, di mana harga ditentukan pihak lain. Mungkin dibilang, Ini bisnis loh, take it or leave it. Inilah nuansa psikologi oligopsoni.
Sementara sisi petani masalahnya kompleks. Harusnya manejemen stok berjalan. Setidaknya Petani deley atau tunda jual bila harga rendah, saat panen raya, pun kandungan air di atas 15 persen. Masalahnya petani tidak cukup gudang penampung. Belum sisi finansial. Petani tidak kuasa nahan lama-lama, tuk dilepas ke pasar.
Hasil kajian Prof Muktazam, PhD, beliau dosen pertanian unram. Meneliti tata niaga dan kesejahteraan petani jagung pulau sumbawa. Hasil kajian telah publish di jurnal bereputasi internasional (scopus). Beliau, Sesama narasumber dengan saya.
Menurut Prof Muktazam, Bagi petani, usaha jagung jauh dari kata sejahtera. Hanya cukup kembalikan hutang, gali lobang tutup lobang. Maka disarankan jangan pakai pola monoculture, hanya andalkan jagung. Perlu diintegrasikan dengan tanaman buah, ternak sehingga aliran uang masuk setiap waktu.
Kini peran itu ada di Bulog. Dengan HPP baru. Tentu petani akan menuju Bulog. Harganya lebih baik. Harapannya bulog serap maksimal jagung petani. Bulog jadi penyeimbang.
Gudang-gudang bulog berpeluang terisi penuh jagung petani. Yang tidak diserap industri. Bahkan ada pengusaha yang mengumumkan belum bisa serap jagung petani. Dengan HAP yang ada. Sampai waktu yang belum ditentukan.
Lalu akan diapakan oleh Bulog jagung yang melimpah ini. Bulog sebenarnya punya peran strategis. Bulog bisa jadi pemutus rantai digdaya pembeli (industri) oligopsoni.
Bila memungkinkan bulog juga bermain disisi hilir. Bila bukan bulog, ada mitra investasi bulog yang masuk pasar. Pasar oligopsoni jagung. Investasi di industri pakan ternak.
Di awal kemungkinan akan tergopoh-gopoh. Hadapi para raksasa dalam oligopsoni. Mungkin bulog tidak akan jadi price leader, perang harga tuk usir pesaing mungkin intensif. Tapi apa iya intitusi bisnis negara tidak punya amunisi. Negara punya banyak instrumen sehatkan bisnisnya.
Demi ekonomi rakyat harus dilakukan. Rakyat harus punya “tentara” bisnis untuk menangkan perang dalam pasar. Sebagai mana perang sungguhan, perang bisnis juga harus punya strategi. Strategi mulai dari hulu sampai hilir, strategi harga, price discrimination bahkan strategi menguasai pasar. Itu perlu dipertimbangkan. Persaingan jalan akhir, bila tidak bisa berkolaborasi.
Harga rendah, fenomena impor, jagung tidak terserap akan jadi lumrah ditemukan ke depan. Inilah psikologi pasar oligopsoni. Perang pasar tidak seperti film-film perang kolosal, yang kelihatan. Tapi perang itu sifatnya geriliya, tidak kelihatan namun dahsyat dampaknya.
Polda NTB melakukan hal baik. Mencoba untuk sisir akar masalah. Sebagai lembaga pengamanan tidak melulu pola penanganan fisik ditempuh, FGD macam ini juga penting. Mempertemukan jalan pikiran pemangku kepentingan adalah jalan paling wibawa dalam mencari penyelesaian masalah.
news via inbox
Nulla turp dis cursus. Integer liberos euismod pretium faucibua